Membangkitkan Syair Sufi Lewat Tari
Adi Warsidi
TEMPO.CO, Banda Aceh – Usai lakon menepuk dada dan paha, delapan penari itu serentak berdiri membentuk lingkaran. Tangan saling mengait, kaki disentakkan ke depan, ke belakang, setengah meloncat.
Syair sufi dikumandangkan serentak, “Allahu.... Allah rabbani, malaikat rabbani. Beingat-ingat Allahu, taubat bak Allah, ta taubat beusah, neubuka Allahu pinto taubat. (Allahu.... Allah rabbani, malaikat rabbani. Ingat-ingatlah Allahu, bertaubat pada Allah, kita taubat yang sah, bukalah Allah pintu taubat).”
Makin lama syair makin cepat didendangkan, seirama dengan semakin cepat mereka meloncat-loncat dalam lingkaran penuh yang dibentuk. Lalu satu penari jatuh, penari kedua dan seterusnya. Azan berkumandang, dan mereka bangun kembali.
Begitulah satu bagian dari film dokumenter “Sufi tapi bukan Sufi” karya Azhari dan Mirza Putra Samalanga.
Azhari membangkitkan kembali sufi lewat visual yang dibuatnya sebagai karya pribadi. Tujuannya untuk mengingatkan kembali tentang tarian sufi Aceh yang dinilainya sebagai cikal-bakal beberapa tarian yang hidup di Aceh hingga kini. “Saya membuatnya sebagai karya, mungkin untuk mengikuti lomba-lomba film budaya, dananya dari kantong sendiri,” katanya kepada Tempo, Selasa 6 November 2011.
Dia mengambil setting di sebuah desa dalam wilayah Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Wilayah itu dianggap tempat tarian sufi dipopulerkan kembali pada tahun 1989 oleh tokoh setempat, TM Daud Gade. Nama tarian yang bersyair syiar Islam pun dikenal kembali dengan “Rabbani Wahed”.
Sebelum membuat film dokumenter, Azhari melakukan penelitian dua bulan dari Juni 2012. Akhir Agustus 2012, dia mulai menggarap film tersebut. “Sekarang ini sudah kelar, hanya penyempurnaan saja.”
Tarian disebut sufi didasarkan pada syairnya yang mengingatkan pada perintah Tuhan, mengajarkan kebersamaan dan lagu-lagu tentang kehidupan Hasan dan Husen, para cucu Nabi Muhammad.
Azhari meyakini, tarian itu telah hidup di Aceh sejak abad ke 16, sebelum Sultan Iskandar Muda berkuasa. Tarian Sufi kala itu lebih dikenal dengan nama “Meugrop” yang artinya meloncat. Dalam masanya, tarian itu berkembang dan terpecah dua, “Ratoh Duek” dan “Ratoh Deung”. Seiring perkembangan zaman, Ratoh Duek berkembang dengan nama Tari Saman dan Tari Likok Pulo, sedangkan Ratoh Deung menjadi Tari Seudati.
Tarian Meugrop kerap dimainkan saat malam Idul Fitri. Konon, dulu semangatnya beda dengan sekarang. Tarian Sufi dulunya, dimainkan pemuda di dayah-dayah yang paham benar dengan ajaran Sufi. Permainannya dengan dengan penuh penghayatan dalam setiap gerakannya. Maka, ketika meloncat-loncat saat menyebut “Allahu... Allahu” para pemainnya sampai pingsan dan kemudian dibangunkan kembali dengan azan.
Kini tarian hanya dimainkan sebagai warisan budaya, yang dihidupkan kembali oleh Daud Gade, setelah hampir hilang tergerus zaman di masa kolonial Belanda dan pascakemerdekaan Indonesia. “Penarinya kadang tidak lagi paham ajaran sufi, hanya menjadi sebuah tradisi. Makanya saya memberi judul film Sufi tapi Bukan Sufi,” terang Azhari.
Daud Gade menyebut, keinginannya untuk menghidupkan kembali tarian sufi yang kini dinamakan Rabbani Wahed untuk menjaga tradisi adat dan budaya yang pernah berkembang di Aceh. “Saya mempopulerkan kembali sekitar tahun 1990, setelah diminta Gubernur Aceh masa itu, Ibrahim Hasan, untuk terus menjaga tradisi budaya,” ujarnya.
Karenanya, Daud kemudian mendirikan Sanggar Seulanga. Beberapa kali mereka telah tampil di Jakarta, Malaysia dan bahkan ke Turki untuk menampilkan keahlian mereka. Daud juga mengklaim, Rabbani Wahed dengan syair sufinya hanya ada di Samalanga.
Tarian Sufi Aceh, kata Azhari juga berakar dari Iran atau Persia dulu, mengacu kepada syair-syairnya. Tapi pada gerakan sedikit berbeda, penari Iran membawanya dengan lembut, tetapi di Aceh penarinya dengan gerakan yang keras. “Mungkin karena dibawakan oleh orang-orang pesisir yang kehidupannya keras,” katanya.
Tarian itu kini kerap dimainkan saat upacara adat dan keagamaan, maupun saat acara-acara perkawinan dengan permintaan dari tuan rumah. Di Samalanga, anak-anak sanggar terus menghidupkan sufi lewat syair tariannya, menjaga budaya dan tradisi.
Azhari merekam baik aksi para penari yang duduk lalu berdiri dengan gerakan penuh semangat sambil mendendangkan pesan-pesan spritual dan mengenang para penegak Islam. “Hasan ngen husen cuco jih nabi, aneuk bak Siti Fatimah Zuhra. Mate hasan di dalam prang, mate Husen inong jih tuba. (Hasan dan Husen cucunya nabi, anak dari Siti Fatimah Zuhra. Hasan meninggal dalam perang, Husen meninggal diracuni istrinya).” [Koran TEMPO,Minggu 11 November 2012]