Sejarah
Asal-muasal tari Rabbani Wahed sudah ada sejak ratusan tahun sebelumnya. Tarian ini dimainkan di mushola-mushola dan dipertunjukkan ke khalayak ramai pada hari besar Islam, yang dibawakan oleh syekh Muhammad Saman.
Kini tarian hanya dimainkan sebagai warisan budaya, yang dihidupkan kembali oleh Daud Gade pada tahun 1990, setelah hampir hilang tergerus zaman di masa kolonial Belanda dan pasca kemerdekaan Indonesia. Saya mempopelerkan kembali pada tahun 1990 Pada tahun itu, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan mengeluarkan sebuah surat edaran menyerukan agar kesenian Aceh yang semakin memudar untuk dilestarikan kembali. Tidak berapa lama kemudian, Dawod Gade langsung merespon surat edaran tersebut. Kala itu ia adalah seorang kepala desa (keuchik) di desa Sangso, Samalanga. Beliau kemudian mengumpulkan beberapa pemuda yang ada di gampongnya. Ditempat itu, ia kemudian mengemukakan ide spontan yang ada dalam pikirannya. Dalam 14 hari, semua gerakan Rabbani Wahid selesai disusun kembali.
Gerakan
Ada dua gerakan utama dari kesenian ini. Formasi duduk berbaris lurus berupa formasi tarian duduk seperti tarian duduk Aceh lainnya. Tahapan kedua adalah formasi berdiri melingkar saling berhadapan sembari melantunkan dzikir kepada Allah sambil disertai hentakan kaki para pelaku tarian.
Bentuk kesenian ini memiliki khas tersendiri. Dibutuhkan stamina kuat dari para pelakonnya. Kekhusyukan para pemain dalam berzikir bisa membuat para pelakonnya tidak sadarkan bahwa lantai yang mereka loncati telah rusak akibat hentakan kaki yang begitu kuat. Hal tersebut terjadi secara alami tidak dibuat-buat dan bukan karena unsur magis.
Penampilan
Pada tahun pertama terbentuknya kembali, Rabbani Wahid langsung berkesempatan tampil di Jakarta. Saat itu, M. Daod sampai harus menjual kebunnya agar semua kru bisa berangkat. Setelah proses penggarapan selesai, satu hari setelah itu datang seorang utusan dari Jakarta dan menyempatkan diri datang ke Samalanga. Pada waktu itu, sang utusan mengatakan inilah yang mereka cari, ia tertarik dengan tarian Rabbani Wahid. Beberapa minggu kemudian, salah seorang staf pengajar dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Nurdin Hasan datang ke Samalanga dan menyampaikan akan membawa Rabbani Wahid ke Jakarta.
Kesempatan itu pun tidak disia-siakan M. Daod dan menilai bahwa tawaran itu adalah sebuah peluang untuk lebih memperkenalkan tarian tersebut hingga ketingkat nasional. Berbagai persiapan pun dilakukan, sampai-sampai para penari berlatih di dalam air diwilayah Ujong Kareueng. Hal itu sengaja dilakukan untuk melatih stamina agar penampilan mereka di Jakarta bisa mencirikan karakteristik orang-orang pesisir.
Tari Rabbani Wahed juga sudah pernah ditampilkan di luar negeri yaitu seperti di Malaysia dan juga pada saat festival musik dan tari internasional diTurki yang berlangsung dari tanggal 25-30 Agustus 2002 yang pada saat itu Seni Rabbani Wahed mewakili Indonesia. Pada festival tersebut, para penari tampil memikat dengan mempermainkan ritme emosi penonton.
Peralihan tabuhan tamborin dan tari dari tempo lambat ke cepat berganti-ganti diiringi oleh ritme tepukan penonton yang ikut dalam tempo seperti memberi roh pada tarian yang disajikan. Gerakan dinamik dari lambat ke cepat kemudian kembali berubah ke lambat berganti-ganti sesuai alunan musik, hampir menyerupai Tari Ratoh Duek mengundang decak kagum bagi penonton Turki yang belum pernah menyaksikan pertunjukan serupa. Ditambah lagi nuansa Islam yang dikumandangkan dalam syair religius yang akrab dengan telinga penonton Turki, semakin menambah indah penampilan tim Indonesia.
Pada Pekan Kebudayaan Aceh ke-6, tarian ini juga ikut ditampilkan. Rabbani Wahed tampil di anjungan Kabupaten Bireuen dan menarik perhatian puluhan ribu pengunjung. Selain ditampilkan di panggung anjungan Kabupaten Bireuen, tarian ini juga tampil di panggung utama ketika acara penutupan PKA VI pada minggu malam, 29 September 2013.
Pelestarian
Untuk mengabadikan tarian sufi Aceh ini, Komunitas Pecinta Film Dokumenter Aceh sudah mendokumentasikannya dalam bentuk film. Ini dilakukan sebagai upaya melestarikan dan mempopulerkan kembali kearifan lokal yang sudah mulai dilupakan oleh generasi muda. Film dokumenter tersebut yang di sutradarai oleh Azhari dan Mirza Putra Samalanga
0 komentar:
Posting Komentar