KELUAR dari tradisi yang sudah mengakar di lingkungan dayah di Aceh, tentu bukan perkara mudah. Tetapi, tidak juga susah untuk dilakukan oleh Ma’had Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga.
Di bawah kepemimpinan Tgk. H. Hasanul Basri (Abu Mudi) Dayah ini melakukan banyak terobosan dan perubahan signifikan menyambut tantangan era globalisasi. Salah satu yang mengejutkan, pada tahun 2001 didirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-’Aziziyah (STAIA). Kebijakan Abu Mudi tersebut, sempat mengundang kontroversial besar di antara alumni MUDI dan dayah-dayah lain di Aceh.
Namun, dalam perjalanannya, Dayah ini tetap mempertahankan tradisi dayah sekaligus menerapkan manajemen modern secara institutional. Kehadiran STAIA ketika itu, tentu sebuah kejutan yang mendobrak tradisi pendidikan dayah di Aceh yang berkurikulum kitab kuning dan tidak menganggap penting gelar kesarjanaan umum.
Sejarah
Dayah MUDI Mesra berada di Desa Mideuen Jok, Kemukiman Mesjid Raya Samalanga, Bireuen, merupakan salah satu dayah salafiyah tertua di Aceh maupun Asia Tenggara.
Dayah MUDI Mesra berada di Desa Mideuen Jok, Kemukiman Mesjid Raya Samalanga, Bireuen, merupakan salah satu dayah salafiyah tertua di Aceh maupun Asia Tenggara.
Dayah ini sudah berdiri sejak masa Sultan Iskandar Muda. Namun, baru sekitar tahun 1927 dayah tersebut berkembang saat dipimpin oleh Al-Mukarram Tgk H Syihabuddin Bin Idris.
Saat dipimpin Tgk H Syihabuddin bin Idris, jumlah santri di Dayah tersebut sebanyak 100 orang putra dan 50 orang putri. Mereka diasuh oleh 5 orang tenaga pengajar lelaki dan dua guru putri. Saat itu, asrama tempat menginap santri hanyalah barak-barak darurat yang dibuat dari bambu dan rumbia. Setelah Tgk H Syihabuddin Bin Idris wafat tahun 1935, dayah MUDI Mesjid Raya dipimpin oleh adik iparnya, Al-Mukarram Tgk H Hanafiah bin Abbas atau lebih dikenal dangan gelar Tgk Abi. Jumlah santri saat itu, mulai meningkat menjadi 150 orang santri putra dan 50 orang putri.
Pada masa kepemimpinan Tgk Abi, pimpinan dayah pernah diwakilkan kepada Tgk M Shaleh selama dua tahun ketika Tgk Abi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama.
Setelah almarhum Tgk H Hanafiah wafat (1964) dayah tersebut dipimpin oleh salah seorang menantunya, yaitu Tgk H Abdul Aziz Bin Tgk M Shaleh. Almukarram yang dipanggil dengan Abon yang bergelar Al-Mantiqiy ini adalah murid dari Abuya Muda Wali pimpinan Dayah Bustanul Muhaqqiqien Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Semenjak kepemimpinan Tgk H Abdul Aziz, Dayah MUDI mengalami kemajuan. Santri yang mondok tidak hanya datang dari Aceh melainkan dari wilayah lain di Sumatera. Barak-barak santri mulai dibangun permanen.
Setelah Tgk H Abdul ‘Aziz Bin M Shaleh wafat tahun 1989, pergantian kepemimpinan dayah ini dilakukan dengan cara musyawarah alumni dan masyarakat. Melalui berbagai pertimbangan, alumni mempercayakan dayah kepada salah seorang menantu Tgk H Abdul Aziz yaitu Tgk H Hasanoel Bashry Bin H Gadeng yang kini akrab disapa Abu MUDI. Ia adalah santri lulusan dayah tersebut yang sudah berpengalaman mengelola kepemimpinan dayah semasa Abon Aziz sakit.
Sejak 1989, dayah tersebut dipimpin Abu MUDI dan mengalami kemajuan cukup pesat. Saat ini, tercatat ada 6.500 santri yang belajar di Dayah ini. Para santri tidak hanya dari Aceh, melainkan datang dari Pulau Jawa, Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, dan Australia.
0 komentar:
Posting Komentar